1.01.2011

Emansipasi Wanita

Berapa saat yang lalu saya agak tertarik dengan sebuah acara di stasiun televisi swasta yang mengangkat topik tentang emansipasi wanita. Memang, beberapa tahun terkahir kaum female telah berjuang tentang penyetaraan mereka dengan kaum pria. Kaum mereka tidak menerima begitu saja bila ada argument bahwa mereka dikodratkan sebagai seorang yang hanya bertugas di dapur, mengurusi anak, dan melayani suami.

Mereka mengatkaan bahwa perempuan atau wanita, juga bisa mengambil peran penting, seperti halnya kaum pria lakukan. Setidaknya ini tidak bertentangan dengan pernyataan seorang filosof terkenal Yunani. Plato mengatakan bahwa seorang wanita bisa melakukan hal yang sama seperti seorang lelaki, asalkan mereka mendapatkan pelatihan yang sama dengan kaum pria dan dibebaskan dari kewajiban untuk mengurus anak dan dapur.


Secara subtansi, wanita dan pria memang mempunyai kesamaan yang sama, namun tidak dalam bentuk. Substansi adalah bahan dasar untuk membuat sesuatu dan bentuk adalah ciri khas yang membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, seorang wanita mempunyai akal, kemampuan nalar, keberanian serta potensi-potensi yang lain yang sama persis dengan seorang pria. Atau dengan kata lain seorang wanita juga tergolong sebagai manusia sama seperti halnya dengna pria.

Seorang wanita tentunya tidak akan mendapat pengakuan dari kaum pria atau dari lingkungan sekitarnya bila tidak mengembangkan potensi yang mereka miliki. Potensi yang sebenarnya ada dari awal manusia tercipta.

Lantas mengapa beberapa orang masih berangggapan bahwa kaum wanita tidak memiliki kemampuan yang sama dengan seorang pria. Jawabannya sangat sederhana, seperti yang dikemukakan diatas bahwa karena mereka (tidak keseluruhan) tidak mengembangkan potensi yang mereka miliki. Potensi yang dianugerahkan sejak manusia lahir.

Aristoteles (murid dari plato) mempunyai pandangan yang tidak begitu mengemberikan tentang seorang wanita. Aristoteles lebih cenderung untuk percaya bahwa kaum wantia itu tidak sempurna dalam beberapa hal. Seorang wanita adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam hal reproduksi, wanita bersikap pasif dan reseptif, sementara pria aktif dan produktif, karena anakanya hanya mewarisi sikap pria kata aristoteles. Dia percaya bahwa semua sifat anak terkumpul lengkap dalam sprema pria, sementara wanita adalah ladang yang menerima dan menumbuhkan benih dan pria lah yang menanam. Atau dalam bahasa Aristoteles, pria menyediakan “bentuk” , sementara wanita menyumbangkan “substasi”. **

Tentu saja mengejutkan sekaligus patut disayangkan bahwa seorang pria yang begitu cerdas dapat begitu keliru mengenai hubungan antara dua jenis kelamin. Tapi ini membuktikan dua hal : pertama, bahwa Aristotels pasti tidak mempunyai banyak pengalaman prkatis menyangkut kehidupan kaum wanita dan anak-anak, dan kedua, itu menunjukan betapa segala sesuatu dapat menjadi sedemikian kacau jika hanya kaum pria menguasai bidang ilmu filsafat, ilmu pengetahuan serta ilmu-ilmu yang lain.

Diera modern sekarang nampaknya kaum wanita sudah membuktikan bahwa mereka pun mampu melakukan hal-hal yang tidak hanya berkaitan dengan dapur, mengurusi anak dan melayani suami. Mereka mampu mengakutialisasikan diri dengan berperan diberbagai bidang. Meraka bahkan mampu berperan dalam kesuksesan seorang pria. Ini lah yang kadang tidak begitu kita sadari. sejalan dengan pernyataan yang mengatakan bahawa dibalik pria yang sukses ada seorang wanita yang hebat dibelakangnya. Sejarah telah membuktikan itu. Seoharto yang mulai lemah ketika ditinggal mati oleh istrinya, kesuksesan Bill Clinton yang tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh istrinya Hilary Clinton, juga president Amerika Serikat yang sekarang Barack Obama. Beberapa buku dan sumber mengatakan bahwa kesuksesan Barack Obama di pemilu lalu tidak terlepas dari peran peting yang dimainkan oleh Michelle Obama istrinya.

Hillary Clinton, Michelle Obama dan wanita-wanita super lainnya adalah mereka yang mampu mengembangkan potensi sehingga mampu memainkan peran strategis dan mendapat pengakuan bahwa mereka mampu melakukan sesuatu sama hal nya dengan seorang pria. Mereka sadar bahwa substansi yang mereka miliki sama halnya dengan pria, sehingga tidak ada alasan untuk mereka bersikap sebagaimana kaum lelaki atau masyarakat pada umumnya memandang seorang wanita. Dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti wantia akan memegang peran penting diberbagai bidang sementara pria hanya termangu diam melihat apa yang terjadi.

** Gaarder, Jostein. Sofie’s Vergen. Hal 136-137. 1996.

Jackchendari_89

*tidak bisa tidur…ahaha….oke saatnya kita tidur…zzz…zzz…zzz….

*oh ya buku Dunia Sophie (novel filsafat) bagus lho…(aku pinjam dari temen) ada yang udah pernah membacanya….ya agak sulit dicerna sih..wkwkw….buku 5 cm juga bagus….aku punya buku tentang Michelle Obama (sombong)..ahaha…mungkin ada yang mau pinjam setalah membaca note ini…ahaha (ngarep di baca)

*oke cukup dengan tanda “*” nya…saatnya kita tidur..udah jam 5 pagi booo…..

Tentang Perasaan

Yaah tentang perasaan, akhir-akhir ini banyak yang menanyakan tentang “perasaan” pada saya. Tidak ada salahnya dong kalau saya akhirnya menulis “tentang perasaan” menurut versi saya. Tentu kita semua sudah pernah mendapat pertanyaan tentang apa yang kau rasakan ketika sesuatu menimpamu. Seperti, bagaiaman perasaan mu ketika ditinggal oleh seseorang yang kamu kasihi?, bagaiama perasaan mu ketika kamu di khianati oleh orang
yang kamu percaya? Atau bagaiamana perasaan mu ketika kamu sangat menyukai seseorang?

Ketika seseoarang menanyakan tentang apa yang kau rasakan terhadap yang kau alami ketika itu, maka kita tau jelas jawabannya. Sedih, senang, bahagia, terharu atau terluka. Singkat, namun kamu puas dengan jawaban itu. lantas bagaimana dengan orang yang bertanya?. Mungkin mereka hanya akan menatpmu, sebab mereka tau apa yang kamu rasakan. Mereka mungkin saja pernah mengalami hal yang sama ketika sesuatu itu menimpamu.


Mereka yang pernah mengalami itu tahu jelas apa yang kau rasakan, karena mereka pernah mengalami itu. Lantas bagaimana kalau orang tersebut tidak pernah atau belum pernah mengalami hal yang sama dengan apa yang menimpamu sehingga tidak pernah merasakan apa yang kamu rasakan ketika itu. kamu memberikan jawaban bahwa kau sedang sedih, bahagia, jengel, senang saat itu, lantas bagaiaman kalau mereka bertanya bagaiama kah perasaan sedih, bahagia, jengkel, senang itu.

Bagaimana kah perasaan sedih itu? bagaiaman kah perasaan sayang, cinta, senang itu?. Mereka menuntut itu agar kau mencoba untuk mendeskripsikannya. Kau tau jelas bahwa itu tidak mungkin. sebab kata-kata yang akan membentuk kalimat, yang kemudian mencoba untuk mendeskripsikan tentang apa yang kau rasakan saat itu takkan mampu untuk manampung keseluruhan makna yang kau rasakan. Jelas bahwa kau takkan mampu, sebab ada sesuatu yang lebih besar dari semua yang kau ungkpakan melaluti retetan kalimat yang keluarkan dari bibirmu, kendati memang itu berasal dari hati. Kau takkan mampu mendeskripsikan bagaiamana perasaan sedih, hanya dengan berkata “biasanya mereka akan mengeluarkan air dari sudut matanya”, apakah itu cukup mendeskripsikan perasaan sedih, atau “mereka yang sedang jatuh cinta akan murah senyum”, jelas bukan hanya sebatas jawaban itu.

Saya akan mencoba menarik kesimpulan tentang perasaan. saya tidak perduli anda yang membaca (kalau ada yang baca..hheeh) setuju atau tidak, sebab bagaiman pun ini ada note milikku. Kesimpulannya adalah perasaan tidak bisa dideskripsikan dengan kalimat atau perbuatan yang anda lihat ketika itu, suatu tulusnya perasaan pun takkan mampu dinilai dari sikap yang seseorang perlihatkan atau apa yang telah korbankan dan perjuangkan, sebab perasaan adalah susatu yang begitu halus, yang dianugerahkan oleh Sang Maha Penyayang, Sang Maha Tau, untuk kita. Tentu anda punya pendapat lain, atau mungkin setuju, atau mungkin tidak setuju dengn menhukumi bahwa apa yang saya pikirikan saat ini tentang perasaan adalah salah. Saya tidak akan perduli dengan itu.

(jackchendari_89)
*siang yang panas, mau tidur pun takkan mampu…hmm…lapar juga coy…makan…makan…..:D